Masa depan perfilman Indonesia, seberapa signifikan dampak dunia perfilman bagi Indonesia ?

Haidar Harits
4 min readJul 15, 2020

Tak dapat dipungkiri, belakangan ini Indonesia mulai mengalami kenaikan kualitas perfilman. Hal ini bisa dilihat dari mulai banyaknya film Indonesia yang bersaing di bidang Internasional, walaupun mungkin belum bisa disebut bersaing, setidaknya mulai dikenal oleh masyarakat luar. Ironisnya film-film Indonesia yang banyak meraih penghargaan di luar negeri justru banyak mendapat kontroversi di negerinya sendiri. Sebut saja Kucumbu tubuh Indahku yang memenangkan Asia Pasific Screen Award, menjadi film terbaik dalam Festival Des 3 Continents Nantes 2018. Disini saya tidak akan membahas kontroversinya, tentu saja setiap orang memiliki pandangan masing-masing dan itu wajar. Setidaknya sebagai sebuah karya yang mendapat apresiasi sineas internasional, hal ini patut kita syukuri. Selain hal ini, banyaknya orang yang kritis tentang dunia sinema juga bisa dibilang sebuah tanda bahwa industri film Indonesia “naik kelas”. Saat ini, bukan hanya para pecinta film garis keras yang peduli apa yang mereka tonton, namun orang awam sekalipun terkadang suka melihat review suatu film yang mereka tonton dan berdebat di dunia maya akan kualitas suatu film dari berbagai sisi, atau minimal melihat IMDb dan Rotten Tomatoes untuk menentukan film yang akan menemani malam mereka di bioskop.

Dengan mulai meluasnya kesadaran masyarakat akan kualitas dari film. Apresiasi yang dirasakan para pelaku perfilman tentunya akan meningkat, mereka akan menyadari bahwa hal yang mereka lakukan selama ini tidak sia-sia dan orang-orang mulai melihat suatu film dari kualitasnya, bukan hanya dari seberapa terkenal artis yang bermain atau plot twist, karena pada dasarnya film merupakan karya seni yang pastinya memunculkan interpretasi yang berbeda-beda.

Tapi apa untungnya ini semua bagi Indonesia ?

Jika jumlah penonton yang teredukasi mulai meningkat, tentunya film-film yang berkualitas bagus juga akan meningkat, karena dengan bertambahnya penonton maka bertambah pula profit dari film tersebut kan. Dan seperti yang kita tahu uang merupakan motivasi utama dari semua studio film. Well, mungkin tidak semua studio, tapi setidaknya mayoritas studio besar yang kita kenal pastinya berpikiran begini, memangnya bagaimana lagi caranya mereka bisa sebesar sekarang. Lihat saja disney, film nya mungkin jarang dapet nominasi oscar, tapi profit dari film mereka selalu mencapai miliaran dollar kan.

Oke, balik lagi ke apa untungnya buat Indonesia ?

Banyaknya konten yang berkualitas akan menaikkan posisi Indonesia di mata Internasional, dan tentunya di mata orang Indonesia sendiri. Coba kalian ke bioskop dan ternyata film-film yang ditayangkan gaada yang kalian kenal dan artisnya ga pernah kalian lihat, diantara film tersebut ada yang produksi hollywood, ada yang produksi lokal. Kemungkinan besar kalian akan memilih yang hollywood kecuali mungkin kalian punya selera sendiri atau genrenya ga sesuai. Tapi kita setuju bahwa pasti film hollywood yang mendapat penonton lebih banyak dalam kasus ini. Kita udah yakin sama kualitas film hollywood, ceritanya, pesannya, sinematografinya, aktingnya, jelas lebih bagus dari film Indonesia “biasanya”, makanya film hollywood lebih preferable. Nah, disinilah keuntungan yang didapat hollywood, lebih dari uang tentunya. Mereka bebas memasukkan apa saja, memberi pesan apa saja dalam filmnya, bahkan dalam banyak kasus memberikan propaganda ke seluruh dunia. Kita semua tahu betapa hebatnya Amerika dalam film, bahkan mayoritas orang percaya kalo amerika memang “sehebat” itu. Film amerika pada masa perang dingin juga biasanya menyelipkan citra buruk bagi rusia, dan masih banyak propaganda lainnya. Sekarang bayangkan jika orang Indonesia dapat melakukan hal tersebut. Tidak perlu jauh-jauh ke seluruh dunia, cukup di negara sendiri. Bayangkan kalo Indonesia bisa memperbaiki citra Indonesia sendiri, menyelipkan nilai-nilai positif, dan tentunya ditonton oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya dengan memperbaiki pandangan masyarakat, kita bisa hidup lebih positif dan pemerintah tidak perlu melakukan pengalihan isu atau mengerahkan buzzer untuk menciptakan pandangan tertentu di masyarakat yang biasanya malah membuat keadaan memburuk. Sekarang jika kita lihat, pasar film Indonesia masih didominasi oleh film percintaan dan horor. Hal yang wajar karena mayoritas orang menyukainya dan bukan merupakan genre yang sulit dibuat dibandingkan genre lain. Tentunya genre tersebut juga kurang fleksibel untuk dijadikan media penyampaian pesan, alasan lain mengapa kualitas film Indonesia harus ditingkatkan.

Jika kita kaitkan dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity ), kasus ini memiliki beberapa relevansi, diantaranya Volatility atau tidak terduga/tidak stabil. Dunia perfilman sangat tidak stabil dan biasanya semakin tinggi kualitas lingkungan film semakin tidak stabil pula keadaannya. contohnya di hollywood karir seseorang bisa hancur cuma karena satu film yang flop (gagal), aib kehidupan pribadi, atau bahkan tanpa suatu alasan. Berbeda jauh dengan sinetron yang pemainnya itu-itu aja (kabarnya begitu, saya gapernah nonton jadi maafkan saya kalau salah ). Selanjutnya Uncertainty atau ketidakpastian, kesuksesan suatu film juga tidak dapat diprediksi, beberapa waktu lalu ada sebuah film yang memunculkan berbagai kontroversi bahkan sempat diboikot, namun akhirnya sukses dan mendapat kritik yang baik, judulnya “Dua Garis Biru”. Lalu kompleksitas, pastinya perfilman sangat kompleks karena melibatkan berbagai faktor seperti ekonomi, isu sosial, masyarakat, ilmu pengetahuan, bahkan terkadang melibatkan agama. Lalu yang terakhir Ambiguitas, terkadang ada beberapa kasus dimana terjadi sebuah ambiguitas atau tidak adanya hubungan sebab akibat. Kasus yang cukup unik, suatu kesuksesan film biasanya membawa kesuksesan pula bagi yang berperan didalamnya, seperti artis-artis marvel yang awalnya kurang dikenal namun melonjak popularitasnya setelah bermain di marvel. Namun terkadang ada beberapa aktor film terkenal yang justru tidak pernah mendapat kesempatan lagi setelah film tersebut, padahal aktor tersebut memiliki potensi yang lumayan, contohnya seperti Tobey Maguire (Spiderman) dan Rupert Grint ( Ron Weasley ). Tentunya hal ini disebabkan oleh banyak faktor namun terkadang juga memunculkan ambiguitas dalam pembahasannya.

Overall, mungkin isu ini bukan merupakan isu yang krusial bagi Indonesia. Namun jika tidak ada yang memedulikan dunia sinema, kita bisa kehilangan budaya kita sendiri. Karena siapa lagi yang peduli terhadap budaya kita selain kita. Mungkin cara menghadapi isu seperti ini adalah dengan lebih mengkritisi suatu film dan mengurangi dosis menonton film yang tidak berkualitas. Dengan membuat sinetron pembodohan tidak laku lagi, kita telah membuat Indonesia selangkah lebih maju. Sekian

#TantanganMasaDepan #DuniaVUCA #OSKMITB2020 #TerangKembali

--

--